KISAH PETRUS JOSEF TRIEST


PENDIRI KONGREGASI BRUDER KARITAS ( FC )

BAB I : DARI BRUSSEL KE GENT

1. Masa kanak-kanak

Petrus Josef Triest dilahirkan di Brussel (ibu kota Belgia) pada tanggal 31 Agustus 1760. Ayahnya bernama Yohanes Triest dan ibunya bernama Secilia Mello. Di antara keempat belas anak mereka, Petrus adalah anak yang kesembilan. Yohanes Triest itu orang yang berada. Ia mempunyai 20 rumah, dan di antaranya ada beberapa yang digunakan untuk pondokan orang kerja. Adapun isterinya berasal dari kalangan pemerintahan kota. Maka rejekinya terjamin, sehingga mereka sempat mendidik sendiri ke-14 anaknya. Dan inilah keinginan mereka yang terbesar, sebab menurut Kanonik P. de Decker (lihat Bab V) mereka menganggap pendidikan yang baik menjadi warisan yang paling berharga bagi anak-anaknya.
Para pengarang riwayat hidup Bapa Triest telah menyelidiki, kalau-kalau ada kejadian-kejadian istimewa dalam masa kanak-kanaknya, tetapi rupa-rupanya tidak ada. Ketika Bapa Triest sendiri ditanyai mengenai hal itu, ia cuma menjawab: “Rahmat Tuhan telah menumbuhkan biji kerelaan yang ditanamnya dalam hatiku”.

2. Sebagai siswa

Tentang sekolah Bapa Triest dimasa kecil tiada kabar apa-apa. Dalam tahun 1772 – 1773, pada umur 12 tahun, ia bersekolah di kolese para Romo Yesuit, tetapi dalam tahun 1773 Serikat Yesus dibubarkan oleh Sri Paus dan kolese itu ditutup. Kemudian Petrus pindah ke “sekolah latin” yang terkenal di kota Geel. Di sana ia melihat bagaimana orang-orang gila dirawat di rumah-rumah penduduk kota. Waktu itu ia agaknya sudah berniat untuk mencurahkan tenaganya kelak untuk pasien-pasien yang malang itu. Menurut orang-orang yang pernah mengenalnya, ia menggunakan waktu yang terluang untuk menengok orang sakit dan malang, dan di berikannya semua uang sakunya kepada mereka.
Pemuda Triest belajar di Geel sampai tahun 1780, tetapi tentang hasil ujian-ujiannya tidak diketahui apa-apa.
Kemudian ia pindah ke Universitas di kota Leuven untuk mengikuti kursus filsafat selama 2 tahun. Pada bulan Agustus 1782, ia turut ujian penghabisan bersama 110 calon lain. Tetapi ia bukan bintang otak, sebab ia menduduki no. 55. Meskipun demikian ia sekarang dapat belajar terus dengan pilihan jurusan hukum, kedokteran dan teologi.
Petrus Yosef Triest yang sudah berumur 23 tahun merasa dipanggil untuk imamat. Maka dari sebab itu ia memilih jurusan teologi. Bersama adiknya Jean Baptist, ia masuk seminari agung di kota Mechelen. Rektornya Romo Y.F. Hulen, seorang imam yang rajin dan yang sangat menghormati Hati Kudus Yesus. Ia berusaha sedapat-dapatnya untuk memajukan hidup rohani anak-anak buahnya (a.l. melalui devosi kepada Hati Kudus tadi), sebab Gereja Katolik di Belgi dalam bahaya besar. Pada zaman itu Belgi menjadi bawahan negara Austria, dan Kaisar Yosef II dari Austria mempunyai anggapan-anggapan yang kurang sesuai dengan pendirian Katolik. Lagi pula ia sangat suka campur tangan dalam perkara-perkara Gereja. Umpama dalam tahun 1783 ia membubarkan biara-biara kontemplatif dan tiga tahun kemudian ia malah mendirikan sebuah “seminari kekaisaran” di kota Leuven, yang akan menggantikan seminar-seminari keuskupan. Pada saat itu Petrus Yosef Triest baru saja ditahbiskan menjadi imam.

3. Tugas pertama

Ketika menerima tahbisan imam, Romo Triest sudah berusia 26 tahun dan ia rindu akan memulai tugasnya sebagai gembala jiwa. Untuk sementara waktu ia tinggal di seminari Mechelen, dan mendapat tugas di paroki-paroki yang berdekatan. Syukurlah beberapa naskah dari kotbah-kotbah yang diadakannya waktu itu masih ada catatannya sampai sekarang. Isi kotbah-kotbahnya, ia sangat menganjurkan umat agar sering menerima sakramen-sakramen, menghormati Bunda Maria, berdoa untuk jiwa-jiwa di api penyucian, menghormati Tritunggal Mahakudus dan menjauhi dosa. Ia sangat memperhatikan pula persiapan anak-anak untuk Komuni Pertama, dan mementingkan pengajaran agama kepada anak-anak dan kepada buruh-buruh muda.
Tetapi terutama ia mendapat nama karena keberaniannya di rumah sakit tentara waktu wabah tipus berjangkit. Tatkala beberapa tentara meninggal dunia, para dokter dan juru rawat lari semua. Kemudian Romo Triest memelihara semua pasien seorang diri, baik secara jasmani maupun secara rohani, sampai-sampai ia sendiri kejangkitan penyakit pula. Ia hampir menjadi korban, tetapi seakan-akan dengan cara ajaib, ia sembuh kembali.
PY Triest tinggal di Mechelen sebagai pastor pembantu (kapelan) sampai tahun 1797. Sejak tahun 1792 suasana politik makin tegang. Di Perancis, revolusi bergolak dan mengancam negara-negara tetangga juga. Dalam bulan Nopember 1792 tentara revolusi Perancis merebut kota Mechelen, dalam bulan Maret 1793 mereka mengundurkan diri, tetapi dalam bulan Juli 1794 mereka kembali lagi dengan ganasnya. Akhirnya dalam tahun 1795, Belgi disatukan dengan negara Perancis. Undang-undang anti Katolik dari revolusi Perancis akan berlaku di Belgi pula. Agama diganggu dengan macam-macam cara dan akhirnya dalam bulan Mei 1797 para pastor di keuskupan Mechelen disuruh bersumpah setia pada hukum-hukum Republik Perancis. Hampir semuanya menolak. Romo Triest juga demikian, sehingga namanya turut dimasukkan dalam daftar “imam-imam yang anti revolusi”. Pemerintah memang berniat mau membalas dendam. Namun begitu Triest dalam bulan Agustus 1797 turut ujian untuk calon-calon pastor kepala paroki. Bukannya untuk mencari pangkat atau keuntungan finansial, tetapi ia mengerti bahwa dalam tahun-tahun yang akan datang diperlukan pastor-pastor untuk paroki-paroki yang tanpa gembala. Kemudian dalam bulan Oktober 1797 ia diangkat menjadi pastor kepala di dusun Ronse (sekitar 40 Km di sebelah Barat kota Brussel).

4. Pastor “bawah tanah”

Sejak tanggal 5 September 1797 para imam diwajibkan mengucapkan sumpah “kebencian akan kerajaan dan akan anarki atau kekacauan”. Triest menolak, lalu ia harus menyembunyikan diri. Gereja parokinya disita dan kedua pastor pembantunya dikurung. Tetapi pastor Triest walaupun ia hati-hati namun ia bukan pengecut. Ia tetap memelihara umatnya. Pada suatu hari ia mendapat kabar, bahwa isteri dari kepala polisi negara di Ronse dalam bahaya kematian. Ia memberanikan diri masuk tangsi untuk memberikan Sakramen Perminyakan Suci. Tiba-tiba kepala polisi itu masuk kamar dan melihat apa yang terjadi dan ia sangat terharu oleh keberanian Triest hingga ia tak berniat menangkap Triest. Bahkan kemudian kepala polisi itu melindungi Triest dalam waktu bahaya.
Tetapi penindasan Gereja tadi hanya selama beberapa tahun saja. Dalam tahun 1799, Jenderal Napoleon menjadi konsul Republik Perancis. Untuk sementara waktu ia belum membatalkan republik itu, tetapi dalam tahun 1804 ia mendirikan kekaisaran. Sementara itu ia telah mengadakan konkordat (perjanjian) dengan Tahta Suci agar mendapat dukungan dari golongan Katolik. Kini Pastor Triest dapat tampil ke muka umum dan masuk gerejanya secara resmi. Kotbahnya pada ibadat itu menunjukkan cintanya kepada Gereja Kudus dan kerelaannya untuk mengampuni musuh-musuhnya. “Adapun kami”, katanya, “sejak lama sudah memberi ampun dengan segenap hati kami. Kami memberi peluk damai kepada mereka dan hanya menginginkan satu macam pembalasan, yaitu: memperdamaikan mereka dengan Allah”. Rama Triest menerangkan lagi, bahwa ia bersedia melepaskan segala sesuatu demi umatnya. Untuk mencukupi kebutuhan pertama, ia mendirikan asrama untuk anak-anak puteri yatim-piatu dengan biaya sendiri serta bantuan orang-orang kaya.

5. Pastor Triest ke Lovendegem

Pastor Triest segera menjadi populer di Ronse, sampai-sampai kepala dusun yang anti agama menjadi iri hati. Ia mencari alasan-alasan untuk mengusir pastor yang rajin itu. Lalu terjadi bahwa Rama Triest sampai dua kali mengadakan upacara pernikahan untuk orang yang belum “kawin kantor”. Padahal menurut undang-undang Napoleon kawin kantor harus lebih dulu. Nah, sekarang kepala dusun dapat bertindak. Ia mengajukan sebuah dakwaan kepada uskup dan residen wilayah Gent (dalam kekuasaan Napoleon, dusun Ronse pindah dari keuskupan Mechelen ke keuskupan Gent). Uskup dan residen merasa yakin bahwa Pastor Triest tidak mempunyai maksud untuk melanggar hukum negara, hanya bertindak demi kepentingan warga parokinya, tetapi demi perdamaian di dusun Ronse, Rama Triest akhirnya dipindahkan ke dusun Lovendegem, letaknya dekat kota Gent. Perpisahan dengan umatnya memilukan hati Triest, meskipun demikian di paroki yang baru ia mulai bekerja dengan giat lagi. Dan pekerjaan di Lovendegem tidak sedikit. Seseudah berkenalan dengan umatnya yang baru, ia membuat catatan ini: “Dosa-dosa pokok di paroki saya, ialah: kemabukan, menghojat Allah dan percabulan. Tetapi hal-hal ini segera akan berkurang apabila timbul kebaktian kepada Santa Maria”.
Pastor Triest hanya memegang pimpinan paroki Lovendegem selama 2 tahun saja, karena ia dipanggil ke kota Gent oleh uskup dan residen setempat. Pamitannya sangat pahit rasanya, baik bagi Triest maupun umatnya. Di kemudian hari, ditengah-tengah kesibukannya di kota Gent, Triest akan tetap merasa bersatu dengan umatnya di Lovendegem itu, sampai-sampai ia menghendaki supaya bila ia meninggal dunia nanti dimakamkan di Lovendegem. Biara pertama Suster-suster Karitas yang didirikan Triest pertama kali di Lovendegem tetap merupakan kenangan Bapa Triest.
Seorang pastor pembantu kemudian melayani paroki Lovendegem atas namanya. Tetapi tiap minggu Triest pergi kembali ke sana, lalu masuk kamar pengakuan. Triest semakin disukai, baik sebagai bapa pengakuan maupun sebagai pengkotbah pada hari-hari pesta.
Kotbah-kotbah Triest mengharukan dan mengajak untuk berbuat. Ia banyak menggunakan kutipan-kutipan dari Kitab Suci dan dari pujangga-pujangga Gereja, seperti St. Agustinus, St. Ambrosius, St. Bernardus dan St. Thomaa Aquino. Pokok-pokok yang sering diuraikannya, yaitu: cinta kepada Allah Bapa, dan kepada Kristus dalam Sakramen Mahakudus serta kepada Hati Kudus. Padahal di zaman itu aliran Jansenisme masih kuat berpengaruh dan aliran itu mementingkan ketakutan kepada Allah.

6. Pendiri tarekat-tarekat religius (kebiaraan)

Ketika disuruh pindah dari Ronse ke Lovendegem, Pastor Triest sudah berusia 43 tahun. Percobaan itu menyucikannya, dan ia dikaruniai keyakinan bahwa Tuhan meminta lebih banyak lagi dari pada hanya menggembalakan sebuah paroki di pedusunan. Ia harus mendirikan tarekat religius, suatu hal yang sungguh tidak mudah.
Pada awal abad ke 19, hampir semua tarekat religius yang dalam abad ke 18 berkembang dengan suburnya, sudah tiada lagi sebelum revolusi Perancis, ordo-ordo kontemplatif telah dibubarkan. Dan waktu revolusi itu tarekat-tarekat lain mengalami nasib yang sama. Pelayanan pendidikan dan perawatan dijalankan oleh tenaga-tenaga awam. Tetapi sistem itu ternyata gagal sama sekali hingga pamong praja setempat sering membiarkan suster perawat (biarawati) dengan berpakaian bukan pakaian biara bertugas kembali melayani orang sakit. Mereka mendapat gaji dari panitia amal setempat, yang antara lain bertugas mengurus milik biara-biara yang dibubarkan. Tentang pengajaran, para orangtua lebih suka anaknya tidak bersekolah saja daripada belajar di sekolah-sekolah negeri yang anti Gereja Katolik.
Napoleon mengerti akan semangat rakyat waktu itu. Dalam tahun 1899, ia mengizinkan para Suster Puteri Kasih (tarekat yang didirikan St. Vinsentius a Paulo), untuk mulai kembali. Dan waktu kunjungannya ke kota Brugge dalam tahun 1803, ia menegaskan bahwa para suster boleh memakai jubah dan menrima novis-novis seperti dulu.
Demikianlah suasana politik, tatkala Triest mendapat rahmat untuk mendirikan tarekat bagi pemudi-pemudi untuk mengajar anak-anak demi kemuliaan Allah. Meskipun mencari calon-calon tidak gampang, tetapi ia berhasil mendapat beberapa pemudi yang rela untuk mewujudkan rencananya. Tetapi Pastor Triest yakin, bahwa sebuah tarekat religius sesuai sekali untuk membendung kemerosotan moral, lebih-lebih dengan teladan hidup mereka. Triest bukan hanya seorang filantropis yang suka berbuat baik, ia pertama-tama seorang imam penuh semangat iman. Ia mau melatih puteri-puteri tarekatnya untuk segala macam pekerjaan amal untuk mengabdi sesama demi cinta kasih. Ia tak ragu-ragu meletakkan dasar untuk hidup membiara yang sungguh-sungguh.
Mgr. Fallot de Beaumont, uskup kota Gent menyetujui rencana Pastor Triest tadi dan pada tanggal 4 Nopember 1803 serikat “Suster-suster Karitas dari Yesus dan Maria” dengan resmi didirikan di sebuah biara kecil dengan empat novis dan sebagai pembimbing adalah Pastor Triest dan seorang suster dari tarekat lain.
Tidak lama kemudian masuklah calon no. 5 ialah Maria Teresia van der Gauwen, yang sudah pernah menjadi novis di suatu tarekat kontemplatif, yang dibubarkan. Ia mempunyai anggapan yang sehat perihal hidup religius, dan mendapat tugas memimpin teman-temannya. Sesudah 9 bulan, pada tanggal 2 Juli 1804, para novis pertama boleh mengucapkan kaul. Kemudian Suster Placida (nama suster dari van der Gauwen) dipilih menjadi pimpinan komunitas / biara.
Beberapa minggu sesudahnya, waktu Misa Kudus, Bapa Triest mendapat suatu ilham yang segera disampaikannya kepada para suster: mereka juga akan memberi pondokan perawatan dan mengabdi kepada orang yang miskin dan malang. Semua suster setuju, dan dengan demikian Tarekat Suster Karitas mendapat tujuan dua macam: pendidikan anak-anak dan perawatan.
Sementara itu timbul suatu kesukaran, menurut dekrit (surat keputusan) Napoleon tertanggal 22 Juli 1804 semua tarekat religius memerlukan pengesahan dari Sang Kaisar itu, dan guna hal itu Konstitusi harus diperiksa lebih dulu. Oleh karena tujuan Suster Karitas hampir sama dengan tujuan Suster Puteri Kasih dari Vinsentius yang sudah memperoleh pengesahan dari Napoleon, maka Uskup Gent bermaksud agar Suster Karitas digabungkan dengan tarekat itu. Tetapi permohonan untuk maksud itu tidak berhasil, hingga tarekat Suster Karitas tetap menjadi tarekat tersendiri dengan semangat khas sendiri. Mereka menggabungkan semangat St. Vinsentius serta hidup aktif dengan semangat kontemplatif, yang telah menjiwai Muder Placida sebelum masuk tarekat Bapa Triest. Di tengah-tengah kesibukan mereka harus mencari kekuatan dalam semangat kedoaan.

7. Suster Karitas pindah ke Gent

Pada tanggal 1 April 1805, Mgr. Fallot de Beaumont datang meninjau biara Suster Karitas di Lovendegem. Beliau sangat suka melihat kerajinan dan semangat baik para suster, dan menghendaki agar Bapa Triest dengan beberapa suster pindah ke Gent. Suster-suster itu akan merawat orang sakit yang tak mungkin sembuh lagi. Itulah permulaan rumah sakit Suster Karitas di Gent, yang dibuka beberapa bulan kemudian. Pada hari-hari pertama tempat tidur untuk para orang sakit belum cukup. Bapa Triest lalu meminjamkan tempat tidurnya kepada pasien, dan selama sepuluh malam Triest tidur dengan duduk di kursi saja. Ia tinggal di suatu bilik di dekat kamar untuk para pasien dan kalau ada pasien yang mengeluh kesakitan ia bngun untuk memberi bantuan.
Dalam musim semi tahun 1806 Bapa Triest pergi ke kota Paris. Di sana ia memperolah pengesahan untuk tarekatnya, lagi pula sebuah akta yang ditandatangani oleh Napoleon sendiri, dan yang memberikan Bapa Triest hak milik atas biara “Ter Haegen”, tempat tinggal para suster di Gent. Selain itu, ia mendapat sebuah relikwi yang sangat berharga dari St. Vinsensius a Paulo, yang sejak itu semakin diteladaninya. Untuk berterimakasih kepada Tuhan atas kurnia-kurnia tadi, ia mendirikan kembali “paguyuban untuk menghormati Hati Kudus Yesus” di kapel biara Ter Haegen yang sejak tahun 1796 dibubarkan.
Pada akhir tahun 1806, Bapa Triest diangkat menjadi pembesar umum para Suster Karitas untuk seumur hidup. Pada awal tahun 1807, ia dilantik dan sekaligus diangkat menjadi Kanonik kehormatan dari Katedral Santo Bavo di Gent.


BAB II. PERMULAAN KONGREGASI BRUDER KARITAS

1. Pekerjaan amal menjadi urusan kota

Sebelum revolusi Perancis, kebanyakan pekerjaan amal dipegang oleh biara-biara. Dalam tahun 1796 hal ini diubah. Tarekat-tarekat religius, khususnya yang kontemplatif banyak yang dibubarkan dan milik serta urusan pekerjaan amal diserahkan kepada “Panitia-panitia amal” dan “biara-biara aktif untuk pekerjaan amal”. Di kota Gent terdapat 40 lembaga yang semuanya diserahkan kepada panitia amal setempat.
Di mana-mana, sistem yang baru ternyata gagal, begitu juga di Gent. Mereka yang bersedia bekerja di lembaga-lembaga amal tidak mempunyai pengetahuan serta kerelaan yang diperlukan. Malahan mereka sering kurang jujur dan tak tahu sopan-santun. Tetapi panitia amal tidak bertindak dan membiarkan hal itu larut begitu saja. Hal itu disebabkan karena anggota-anggota panitia amal tidak dipilih sesuai dengan kecakapan dan kesediaan, melainkan menurut anggapan politik mereka.
Napoleon memperbaiki hal itu: Menteri Dalam Negeri akan mengangkat anggota-anggota panitia amal atas usul residen setempat yang bernama Falpoult, yang menjadi residen daerah Gent. Ia berusaha untuk mendapat orang-orang jujur sebagai panitia tadi. Anggota-anggota yang ditetapkannya antara lain: Mgr. Fallot de Beaumont, Uskup Gent.

2. Tahun 1807: tahun penting bagi Bapa Triest

Meskipun urusan pekerjaan amal di Gent mendapat perbaikan besar, akan tetapi keadaan finansial tetap buruk. Karena itu diadakan “panitia ketertiban dan ekonomi”. Tugasnya ialah: memeriksa barang-barang mana yang dibutuhkan di lembaga-lembaga amal, dan bagaimana dapat dibelinya dengan harga murah, panitia ini beranggota enam orang, dan salah seorang di antaranya ialah Kanonik Triest.
Beberapa hari kemudian setelah penetapan tugasnya, Bapa Triest mendapat tugas tambahan, yaitu: sebagai kepala rumah sakit Byloke, yang diurus oleh para Suster Sistersienser. Dan dalam bulan Oktober 1807, ia diangkat menjadi anggota panitia amal. Akhirnya, dalam bulan Desember 1807, ia mendapat sebuah tugas lain lagi, yaitu mengurus duabelas “Lembaga kecil” (lembaga-lembaga yang memberi pondokan kepada orang-orang jompo).

3. Lembaga untuk orang jompo di Byloke

Dalam tahun 1802, suster-suster sistersienser diperbolehkan kembali ke biara Byloke dengan rumah sakitnya. Tetapi para suster tidak menempati seluruh biara, hanya sebagian saja. Lalu bagian yang tidak ditempati digunakan oleh panitia amal sebagai panti untuk 100 orang jompo (tahun 1805). Tetapi tiada karyawan di situ, hanya seorang ekonom yang harus mengurus segala-galanya. Maka terjadilah banyak kekacauan sampai tidak tahu akal lagi untuk mengatasinya.
Akhirnya, Bapa Triest mengusulkan untuk menyerahkan panti / asrama tadi kepada tarekat religius. Kongregasi “Ellebroers” telah dibubarkan waktu revolusi, tetapi mengapa tidak mendirikan tarekat baru? Bapa Triest mengenal beberapa pemuda di Lovendegem, yang ingin masuk biara. Kalau panitia amal sudi menerima jasa-jasa mereka dan menjamin kehidupannya, maka dengan berkat Tuhan semuanya akan beres.
Pada tanggal 26 Desember 1807 panitia amal menyetujui usul tadi, dan Bapa Triest terus bertindak. Pada hari Senin tanggal 28 Desember 1807, tiga pemuda pertama sudah masuk, yaitu Yosef de Neve dan Aleksander Struvelt, keduanya berusia 19 tahun dan seorang mantan tukang tenun. Mereka dibawa ke lembaga Byloke oleh Bapa Triest dan walikota Delafaille, agar mereka dapat melihat-lihat semuanya terlebih dulu. Kemudian kedua pembesar segera pulang karena hari sudah hampir gelap. Seorang suster dari biara Sistersienser diminta mengurus makanan dan penginapan mereka, tetapi rupanya suster itu sangat sibuk, sebab ternyata para calon itu tidak mendapat apa-apa.
Seperti domba-domba yang tersesat, mereka berkeliaran di seputar gedung Byloke, hingga akhirnya sampai ke kapel susteran. Mereka masuk kapel dan memang menarik perhatian para suster. Kemudian mereka dibawa kepada Romo biara, dan kemudian disediakan makanan bagi mereka. Seorang suster mencari tiga kasur berisi jerami dan mereka disuruh tidur di loteng. Selimut yang disediakan hanya satu saja untuk bersama.
Beberapa hari lagi menyusullah dua calon lagi dan sekarang sudah 5 orang. Untuk menambah kewibawaan mereka segera diberi sebutan bruder walaupun belum memakai jubah. Pemimpin yang ditunjuk sekaligus merangkap ekonom ialah Antonius Blaton. Blaton itu ternyata orang yang cakap. Ia berhasil memulihkan tata-tertib di lembaga bagi para jompo itu dan ia memikat hati para asuhan. Apalagi tarekat baru itu laku sekali, dalam tahun 1898 ada 8 calon baru masuk lagi, hingga semuanya sudah berjumlah 13 orang.
Tetapi mereka belum biarawan dalam arti sepenuh-penuhnya. Ternyata dalam akhir tahun 1808 (1 Nopember), Bapa Triest menyuruh 6 di antara mereka mengurus sebuah lembaga untuk macam-macam orang yang berbahaya, yaitu orang-orang gila yang suka mengamuk, bekas tentara yang terhukum dan orang-orang yang dikurung karena tak mau membayar utang. Akibatnya, kegagalan total terjadi, sampai-sampai 4 calon pulang dan 2 calon lain sebelum akhir tahun 1808 sudah kembali ke lembaga Byloke. Semangat mereka patah. Belum sampai lama salah satu dari kedua calon itu meninggal dunia. Karena merasa gelisah dan takut, komunitas kehilangan semangat dan sebelum pertengahan tahun 1809 hampir semuanya sudah keluar, termasuk Blaton sendiri. Hanya 2 orang yang masih setia, tetapi mereka sudah putus asa karena para jompo di lembaga Byloke makin hari makin melawan dan memberontak terhadap mereka.

4. Permulaan yang kedua

Bapa Triest sangat kecewa, ia menulis sepucuk surat kepada Mgr. De Beaumont yang sementara itu menjabat uskup di Piacensa di Italia. Mgr. de Beaumont menghibur dan memberi nasehat agar Triest minta bantuan kepada Mgr. de Broglie yang menggantikannya sebagai Uskup Gent. Pada akhir bulan Juli 1809 terbitlah terang baru. Yosef Truyeens, seorang bekas biarawan yang biaranya dibubarkan, mencalonkan diri. Bapa Triest merasa “memegang seorang malaikat pada kakinya”. Truyeens lekas-lekas dijadikan pimpinan di Byloke, dan ia berhasil memulihkan tata-tertib. Ada beberapa calon yang telah pulang masuk kembali, dan ada calon baru yang mendaftarkan diri. Selain itu Bapa Triest mengadakan kontak dengan panitia amal perihal kehidupan para bruder itu, serta pemeliharaannya waktu sakit dan kalau nanti berusia lanjut.
Dengan demikian, ada harapan baru, dan Mgr. de Broglie memberi nasehat supaya Kanonik Triest meneruskan usahanya untuk mendirikan tarekatnya yang kedua itu, lagi pula supaya mengajukan permohonan guna mendapat pengakuan resmi. Bapa Triest menyusun sebuah rencana untuk Konstitusi yang terdiri dari 30 ayat. Pada tanggal 23 Nopember 1809, Konstitusi itu mendapat pengesahan dari Mgr. de Broglie. Dua hari sebelumnya para calon telah memulai novisiatnya. Mereka semua ada delapan orang, kebanyakan berumur antara 20 dan 30 tahun. Lima diantara mereka mantan tukang tenun.
Mula-mula segala-galanya berjalan dengan baik. Truyeens memuaskan baik sebagai pemimpin lembaga maupun sebagai pelopor para novis lain. Tetapi musim semi tahun 1810, kelakuannya mulai berubah. Kekurangannya sebagai biarawan makin menyolok mata, dan terbitlah perselisihan-perselisihan faham di komunitas. Akhirnya keadaaan menjadi gawat dan pada suatu hari dalam bulan Agustus 1810, Truyeens hilang tanpa lari, dengan membawa semua uang kas biara. Kemudian diketahui bahwa Truyeens sebenarnya bukan mantan biarawan yang dibubarkan oleh Revolusi Perancis melainkan ia pergi dari biaranya karena melarikan diri juga.

5. Ketiga kalinya: berhasil

Pukulan yang kedua tadi tidak mematahkan harapan Bapa Triest. Beliau terus percaya pada penyelenggaraan Tuhan. Syukurlah calon-calon tetap setia dan tidak ada yang meniru Truyeens.
Pada permulaan Oktober 1810, harapannya dikabulkan dengan cara yang istimewa. Simon Yan de Noter masuk tarekatnya. Biarpun de Noter itu orang yang sederhana, tetapi riwayat hidupnya toh agak luar biasa. Dalam masa mudanya ia pernah masuk Ordo Yesuit, tetapi sebelum ia dapat mengucapkan kaul, ordo itu dibubarkan. Kemudian ia masuk ordo Kartuiser yang kontemplatif, tetapi dalam tahun 1783, ordo ini dibubarkan pula. Lalu ia menjadi pelayan jurutulis di rumak sakit Byloke, sampai waktu para suster di sana disuruh pergi (tahun 1797). Sesudah mereka kembali, ia tidak menjadi pegawai tetap lagi, tetapi masih sering menengok ke sana. Dengan demikian ia memang tahu tentang apa yang terjadi dibagian lain dari gedung Byloke, ialah dikalangan “Bruder-bruder St. Vinsesnsius” (ini nama perdana dari Bruder-bruder Karitas).
Nah, pada suatu hari dalam bulan Oktober 1810 dokter lembaga susteran mengajak de Noter untuk masuk tarekat Bruder-bruder St. Vinsensius itu. De Noter menolak, tetapi dokter tadi lalu menghubungi Bapa Triest. Bapa Triest mencoba meyakinkan de Noter, namun ia masih tetap bimbang. Usianya sudah 61 tahun, lagi pula biarawan-biarawan yang akan dipimpinnya itu bukan hal yang biasa karena berbeda sekali dengan para Kartuiser dulu. Kalau bekerja mereka rajin betul, tetapi cara mereka berdoa agak tidak biasa. Tak ada doa ofisi sama sekali, mereka hanya berdoa rosario beberapa kali sehari. Tetapi akhirnya, de Noter toh setuju dengan syarat bahwa “tukang-tukang sembahyang rosario” itu boleh dijadikannya biarawan yang sungguh-sungguh.
Lalu segala hal dimulai dengan cara baru. Pada tanggal 21 Nopember 1810, de Noter menerima jubah bersama dengan tiga calon lain, sedangkan calon-calon lama mulai novisiat kembali. Ia mendapat nama Bruder Bernardus. Br. Bernardus mulai melatih para calon untuk berdoa ofisi St. Maria lengkap dengan macam-macam seremoninya. Lama kelamaan, ia menetapkan macam-macam kebiasaan religius, seperti kapitel mingguan (pengakuan pelanggaran aturan di muka komunitas), merendahkan diri bila masuk terlambat dan lain-lain. Ia sendiri selalu memberi teladan dan dengan demikian petunjuk-petunjuknya mudah diterima. Sama seperti Muder Placida dalam tarekat Suster Karitas, begitu pula Br. Bernardus juga berhasil memberi capnya sendiri kepada tarekat Bruder Karitas, yaitu ciri setengah kontemplatif.
Sesudah novisiat selama 1 tahun, pada tanggal 26 Nopember 1811, enam bruder pertama mengucapkan kaulnya. Pada hari itu juga mereka memilih Br. Bernardus menjadi Pimpinan (=Overste) dan diberi sebutan Vader Bernardus.
Sesudah 4 tahun Bapa Triest bersusah payah mendirikan Tarekat Bruder Karitas, akhirnya berhasil juga.


BAB III PELOPOR KARITAS KATOLIK

1. Pembela para begijn di Gent

Walaupun Bapa Triest sebagai Pendiri tarekat-tarekat religius yang banyak sekali pekerjaan dan kesusahannya, ia juga banyak mengusahakan pekerjaan amal yang lain. Umpamanya sebagai pembela para begijn, sebagai co-administrator panitia amal, sebagai pemimpin rumah sakit Byloke, sebagai Direktur dari 12 lembaga kecil.
Adapun para begijn, ialah wanita-wanita yang hidup bersama dalam suatu asrama dengan tidak menikah. Meskipun bukan religius, mereka hidup dengan saleh dan melakukan pekerjaan amal. Di kota Gent terdapat beberapa asrama untuk para begijn, tetapi waktu revolusi Perancis mereka diusir dan harta miliknya disita. Sesudah perjanjian antara Takhta Suci dengan Napoleon, mereka boleh mendiami asrama-asrama itu lagi, tetapi dalam tahun 1808 ada bahaya bahwa mereka akan dibubarkan sama sekali. Bapa Triest lalu mengirim sepucuk surat kepada Residen Faipoult untuk membela kepentingan mereka. Ia menekankan faedahnya asrama-asrama begijn itu, baik bagi Gereja maupun masyarakat. Usaha Bapa Triest ini akhirnya berhasil, lebih-lebih karena jasa yang besar dari para begijn dalam tahun 1809. Waktu itu semua rumah sakit di Gent penuh dengan militer yang ketularan suatu wabah yang berbahaya. 80 orang begijn menjadi perawat sukarela, dan 20 di antara mereka meninggal sebagai korban dari cintanya kepada sesama. Itulah sebabnya sehingga organisasi para begijn tidak jadi dibubarkan.

2. Jasa-jasa Bapa Triest untuk panitia amal

Selama tiga puluh tahun Kanonik Triest menjadi co-administrator dari panitia amal kota Gent, tetapi ia tidak suka menonjolkan diri. dari buku laporan rapat mingguan (20 jilid yang tebal) ternyata, bahwa Bapa Triest jarang sekali berpidato. Ia mengajukan usul-usul, merumuskan putusan-putusan diskusi dan pembicaraan. Beratus-ratus kali tandatangannya terdapat dalam laporan-laporan tadi. Ia hampir tak pernah absen. Kemudian dari laporan-laporan tadi ternyata pula, bahwa Bapa Triest mendapat segala macam tugas dari panitia itu. Mereka menaruh kepercayaan besar kepadanya, dan hampir selalu menyetujui pendapatnya. Dalam tahun 1827, beliau dipilih menjadi wakil yang tetap.

3. Pengurus rumah sakit Byloke

Dalam Bab II sudah diterangkan bahwa dalam tahun 1807, Bapa Triest diangkat menjadi pemimpin rumah sakit Byloke. Tugas ini tidak mudah. Sudah beberapa tahun Muder di sana menderita lumpuh, hingga tak dapat mengawasi biara dan lembaganya yang mengakibatkan timbulnya hal-hal yang kurang baik. Bapa Triest perlu memberantas kelalaian yang beraneka ragam itu. Ia bertindak dengan tegas tetapi tidak menonjolkan diri, dan senantiasa melindungi kewibawaan Muder. Ia menjaga agar para dokter mengunjungi dan memeriksa para pasien pada waktunya. Ia mengadakan efisiensi, menetapkan jam tamu. Lagi ia mengusahakan supaya penderita sakit menular mendapat sal-sal dan kamar operasi yang khusus, dan menjaga supaya para dokter dan perawat sungguh-sungguh kompeten. Di samping itu, ia memperhatikan segala seluk-beluk rumah sakit, seperti obat-obatan, pakaian dll. Ia menyusun daftar-daftar tentang apa yang kurang atau yang perlu diganti. Daftar-daftar itu lalu diperlihatkan dalam rapat-rapat panitia amal. Selama sepuluh tahun Kanonik Triest memelihara rumah sakit Byloke. Kemudian dalam tahun 1817 diserahkan kepada salah seorang suster yang sudah cukup berpengalaman untuk menyelesaikan semua urusan itu.

4. Pengurus lembaga-lembaga amal kecil

Dalam tahun 1807, Bapa Triest juga diangkat menjadi pengurus 12 buah lembaga kecil. Kemudian ia ditugaskan pula untuk menentukan siapa saja yang akan diterima sebagai anak asuh atau anak rumah penampungan dalam lima lembaga lain lagi. Dan tiap-tiap calon perlu diperiksa dengan teliti mengenai tempat tinggalnya dulu, surat permandian, kemampuan finansial dan lain-lain. Lalu Bapa Triest harus mencari tempat yang lowong di lembaga-lembaga tadi, minta pengesahan panitia amal dan lain sebagainya. Semuanya itu suatu tugas yang tidak ada habisnya, namun Bapa Triest melakukannya selama 29 tahun. Dengan demikian ia dapat memberi pondokan kepada lebih dari 8000 orang yang terlantar. Karena kemurahan serta kesabaran hatinya dalam mendengarkan segala keluh-kesah, beliau mendapat nama julukan: “Pastor Triest yang baik hati”.

5. Jasa-jasa bagi anak-anak yang terlantar

Sama seperti St. Vinsensius a Paulo dulu, Bapa Triest juga mengurus kepentingan anak-anak gelandangan dan anak-anak pungut. Jumlah anak-anak itu naik turun menurut keadaaan ekonomi masyarakat umpamanya dalam tahun 1824 di wilayah Gent terdapat 700 anak terlantar. Orang tua dapat menyerahkan anak kepada sebuah “panti untuk anak-anak terlantar”. Di sana mereka mendapat pakaian dan pemeliharaan. Bapa Triest mengadakan gudang pakaian, yang khusus untuk anak-anak itu dan yang sering diperiksanya. Acapkali ia minta keterangan tentang keadaan anak-anak asuhan tu.
Apabila seorang anak cukup kuat, ia dititipkan pada orang dusun. Tetapi panitia amal terus memperhatikan nasibnya, dan Bapa Triest berulang kali diutus ke dusun-dusun untuk inspeksi. Kadang-kadang ia menyamar seperti seorang petani. Coba bayangkan, betapa berat perjalanan-perjalanan itu di pedusunan, lebih-lebih pada zaman dahulu dan beliau telah berusia lanjut.

6. Perawatan orang gila

Pada zaman Bapa Triest, kota Gent mempunyai dua buah rumah sakit jiwa, yang satu untuk laki-laki dan yang lain untuk perempuan. Nasib para pasien sungguh terlalu buruk. Waktu malam mereka dibelenggu hingga tak dapat bergerak lagi, lalu ditinggalkan begitu saja dengan tiada penjaga atau perawat. Dalam keadaaan demikian mereka berbaring di atas jerami yang penuh kutu busuk, dengan keadaan pakaian kurang lengkap dan badan penuh bisul.
Keadaan demikian terjadi karena pemimpin dan para pegawai yang tak tahu tanggung jawab. Pemerintah kota menyerahkan jabatan pemimpin kepada ekonom, lalu hampir tiada pengawasan lagi. Pemimpin ini lalu mencari untung dengan mengurangi makanan dan keperluan-keperluan lain bagi pasien, serta dengan menerima pegawai kurang bermutu, yang puas dengan gaji sedikit saja.
Ketika Bapa Triest melihat keadaan itu, ia memperotes dengan keras, lebih-lebih karena orang-orang perempuan di jaga oleh perawat laki-laki. Alangkah baiknya kalau perawatan itu diserahkan kepada para suster Karitas. Lagi pula hal itu akan lebih ekonomis. Panitia amal menyetujui usul itu, dan dalam tahun 1808, empat suster memulai tugasnya. Kesukaran-kesukaran begitu besar, tetapi mereka mencari kekuatan dalam doa.
Karena hasil baik pekerjaan para suster panitia amal mau menyerahkan perawatan orang gila laki-laki kepada para bruder. Tetapi hal itu baru mungkin dalam tahun 1815 ketika sudah ada sepuluh bruder yang berkaul (dalam tahun 1814 mereka telah memulai sebuah pekerjaan lain lagi di Byloke, yaitu perawatan pasien-pasien yang tak dapat sembuh lagi).

7. Haluan baru

Para suster dan para bruder Karitas, karena semangat cintakasih berhasil memperbaiki nasib “anak-anak tercinta dari Bapa Triest” (orang-orang gila). Akan tetapi pengetahuan mereka tentang perawatan sedikit saja. Syukurlah dalam kalangan para dokter dan kemudian juga dalam kalangan pemerintah timbullah keinsyafan bahwa cara perawatan perlu diperbaharui. Dalam tahun 1818 pemerintah mengeluarkan suatu program yang luas perihal pembaharuan itu. Pamong praja provinsi Vlaanderen Timur segera mengadakan sebuah panitia untuk memeriksa keadaan rumah sakit jiwa di sana, dan minta pula kerjasama dari pantia-panitia amal setempat. Lalu panitia amal dari Gent menugaskan Bapa Triest dan seorang anggota panitia lain lagi untuk menyusun sebuah laporan. Menurut laporan ini lembaga para suster memenuhi segala syarat, tetapi lembaga para bruder terlalu buruk adanya, perlu dipindahkan ketempat lain. Sayangnya hal ini tidak jadi karena tiada uang.
Tetapi dalam tahun 1826, dokter Yosef Guislain (1797-1860) dari Gent menerbitkan sebuah buku yang berjudul: Uraian tentang penyakit gila dan rumah-rumah sakit jiwa, yang antara lain termasuk rumah sakit jiwa yang dikelola Bruder Karitas. Ia menyebut bahwa “Itu sebuah penjara yang mengerikan, yang sama sekali tidak cocok untuk lembaga orang gila”. Pamong praja kota Gent merasa malu. Alhasil sebuah gedung biara yang tua diperbaharui dan beberapa bulan kemudian para bruder pindah ke sana.
Bapa Triest segera mengerti, bahwa dokter Guislain itu orang yang cocok untuk membaharui perawatan orang gila, dan mengusulkan supaya mengangkatnya menjadi “dokter luar biasa” di rumah sakit Suster dan Bruder Karitas. Usul itu diterima oleh panitia amal, dan kemudian Bapa Triest bersama dokter Guislain menyusun aturan-aturan untuk kedua lembaga itu, yang merupakan kemajuan besar dalam perawatan orang sakit jiwa.
Juga di luar kota Gent, tarekat-tarekat Bapa Triest membuka rumah-rumah perawatan orang sakit jiwa, umpamanya di Doornik. Tetapi rencana-rencana Bapa Triest itu semakin mendapat rintangan dari pemerintah Belanda yang “anti-Katolik” waktu itu.

BAB IV TAHUN-TAHUN PENUH KESUSAHAN

1. Sikap pemerintah Belanda terhadap kaum religius

Sesudah zaman Napoleon, Belanda dan Belgi dijadikan satu dibawah pemerintahan Raja Willem I. Willem I itu telah berjanji untuk melindungi agama, akan tetapi janji ini tidak ditepati. Beliau hendak berkuasa dalam semua hal, juga dalam hal agama, dan hanya memilih menteri-menteri dan pegawai-pegawai yang mendukung politiknya.
Dalam tahun 1816-1817 diadakan penyelidikan tentang jumlah biarawan-biarawati beserta tugas pekerjaannya. Kemudian menyusul aneka peraturan untuk menghambat perkembangan dan kerasulan para religius. Serikat-serikat untuk perawatan orang sakit boleh minta pengesahan resmi yang pada umumnya diberikan karena pemerintah tidak dapat menggantikan fungsi itu. Tetapi sejak tahun 1822 pemerintah juga menetapkan jumlah anggota dan tiap-tiap kongregasi di wilayah kekuasaannya. Lagi pula upacara kaul kebiaraan harus disaksikan oleh seorang pejabat pemerintah. dan mulai 1 Januari 1826 dilarang sama sekali untuk menerima calon-calon baru.

2. Nasib tarekat-tarekat Bapa Triest

Tarekat Suster Karitas sudah pernah disahkan oleh Napoleon. Maka Bapa Triest merasa bahwa tak perlu untuk minta pengesahan lagi. Bahkan ia minta izin untuk mendirikan biara-biara baru dengan biaya swadaya. Permintaan itu ditolak dan Bapa Triest disuruh minta izin tiap kali mau mendirikan biara atau lembaga baru. Sesudah banyak surat-menyurat, akhirnya Bapa Triest mendapat pengakuan resmi untuk keenam biara yang dibuka oleh Suster-suster Karitas di luar kota Gent. Adapun Kongregasi Bruder Karitas belum pernah disahkan oleh Napoleon. Sampai lama Bapa Triest bimbang, tetapi akhirnya ia menyusun sepucuk surat permohonan, yang disampaikan kepada Raja Willem I sendiri waktu raja itu berkunjung ke kota Gent dalam tahun 1819. Tetapi aturan-aturan Bruder Karitas tidak dilampirkan sehingga tak mungkin mengurus permohonannya. Syukurlah pemerintah Belanda tidak berani membubarkan Tarekat Bruder Karitas karena tarekat itu berjasa sangat banyak untuk kepentingan umum. Jadi tiada pengesahan tetapi penolakan juga tidak ada. Bapa Triest kemudian merasa bebas untuk bergerak terus. Dalam tahun 1820 ia membuka sebuah rumah gila di Froidmont (dekat Doornikt), yang dalam tahun 1822 disusul sebuah sekolah. Beliau malah berani mendirikan sebuah tarekat baru.

3. Tarekat Santo Joannes de Deo

Aturan yang disusun Bapa Triest untuk Bruder Karitas bahwa mereka akan merawat orang-orang sakit di rumah si pasien (hal ini untuk meneruskan karya Tarekat Aleksian – Cellebroers yang telah dibubarkan oleh pemerintah Perancis) ternyata tidak berjalan. Agaknya Vader Bernardus de Noter kurang setuju. Akhirnya, pamongpraja kota Gent minta kepada Bapa Triest untuk mendirikan Tarekat baru yang khusus untuk tujuan tadi. Bapa Triest menyetujui permintaan itu, tetapi dengan syarat bahwa bekas biara Aleksian akan dipakai untuk terekat baru itu. Kemudian untuk mengelabui pemerintah Belanda, dua orang Bruder Karitas dengan sejumlah pasien dari rumah sakit gila pindah ke sana.
Vader Bernardus menerima beberapa calon untuk Tarekat baru yang diberi nama Tarekat St. Joannes de Deo. Akhirnya dalam tahun 1823, tarekat baru itu dimulai dengan tiga novis dan seorang bruder yang tinggal di "biara Aleksian” itu. Tetapi pemerintah Belanda dapat mengetahui hal itu, dan pemerintah minta pertanggung-jawaban kepada keuskupan Gent. Vikaris keuskupan lalu mengirim sebuah laporan yang panjang lebar kepada Gubernur Vlaanderen Timur yang akhirnya memuji para Bruder Karitas (maklumlah, Tarekat Joannes de Deo tidak disehutkan). Dalam laporan itu, Vikaris sekaligus dsampaikan permohonan sudilah kiranya Raja Willem I mengesahkan lembaga-lembaga mereka. Pengesahan sekali lagi tidak diberikan, tetapi sama seperti dalam tahun 1819 tiada penolakan juga. Baru pada tahun 1825 para Bruder Joannes de Deo berani memulai perawatan orang sakit ke rumah-rumah pasien di kampung-kampung.

4. Keadaan makin buruk

Sementara itu pemerintah Belanda memberitahukan kepada Bapat Triest, bahwa surat permohonan untuk mendapat pengesahan yang disampaikan kepada Raja Willem I dalam tahun 1819 telah hilang. Lalu dalam tahun 1824 Bapa Triest mengirim sepucuk surat permohonan baru, tetapi kali ini tidak ada putusan juga. Untungnya dengan kejadian itu, pemerintah Belanda tidak menetapkan jumlah para bruder dan aturan lainnya. Maka Bapa Triest merasa bebas dalam banyak hal. Tetapi dalam tahun 1826 pemerintah melarang kepada siapapun untuk menerima novis lagi.
Lama-kelamaan rumah perawatan orang gila kekurangan tenaga. Panitia amal menghujani pemerintah Belanda dengan surat-surat permohonan, dan dalam tahun 1829 akhirnya jumlah para suster di rumah sakit gila para Suster Karitas boleh ditambah sampai jumlah 23 orang, termasuk suster-suster yang sudah tua, novis dan lain-lain. Tetapi segala surat permohonan guna rumah sakit gila Bruder Karitas tak berhasil. Rumah sakit gila di Froidmont, yang didirikan tanpa izin, hampir saja dibubarkan tetapi sesudah pembicaraan berbulan-bulan lamanya, akhirnya pemerintah Belanda menyetujui biara itu boleh diteruskan dengan syarat bahwa tidak boleh menambah jumlah bruder supaya lama-kelamaan komunitasnya akan kehabisan anggota.

5. Jasa-jasa Bapa Triest untuk pendidikan anak-anak

Tarekat-tarekat Suster dan Bruder Karitas tidak hanya didirikan untuk perawatan tetapi juga untuk pendidikan anak-anak. Dalam tahun pertama, para Suster Karitas sudah membuka sebuah sekolah untuk anak-anak putri, dan sesudah tahun 1814 Bruder karitas makin menentingkan pengajaran. Umpamanya, sekolah anak-anak miskin di Byloke rupa-rupanya dimulai pada tahun 1816. Kemudian didirikan sekolah lain lagi di luar kota Gent. Bapa Triest menegaskan pentingnya semua pekerjaan dilakukan dengan berkualitas. Peraturan untuk suster Karitas terdapat bab yang khusus untuk para suster Pendidik. Dan ketika pemerintah Belanda mengembangkan metode klasikal, Bapa Triest menyuruh soerang calon dari Novisiat Bruder Karitas ke kota Manamen untuk mempelajari sistem klasikal dari tarekat “Bruder Sekolah Kristiani”. Dua bulan kemudian novis itu pulang, lalu sistem itu dipraktekkan di sekolah di Byloke. Dalam waktu yang singkat jumlah muridnya naik sampai 400. Selanjutnya, seorang bruder ditugaskan menterjemahkan buku “Cara Memimpin Sekolah-sekolah Katolik” karangan St. Joannes Baptis de la Salle. Terjemahan ini lalu dicetak serta diterbitkan. Ketika pemerintah menetapkan, bahwa para guru di sekolah-sekolah partikelir harus berijazah, Bapa Triest menyuruh para suster dan bruder pengajar untuk belajar dan mendapatkan ijazah-ijazah itu. Lagi pula mereka mempelajari metode-metode baru di “sekolah-sekolah percontohan” dari pemerintah. Maka dapat dimengerti bahwa sekolah-sekolah mereka dipuji, baik oleh para inspektur pendidikan maupun oleh masyarakat.
Walaupun demikian pemerintah Belanda yang makin lama makin anti Katolik, tak kenal belas kasihan. Sebuah sekolah Bruder Karitas yang dibuka dalam tahun 1825, harus ditutup dalam tahun 1826. Syukurlah sekolah mereka di Brugge boleh diteruskan berkat perlindungan menteri dalam negeri yang berasal dari kota itu. Di Mechelen para suster diperintahkan menutup baik sekolah maupun rumah sakitnya, dan komunitas harus meninggalkan biaranya pada tahun 1826. Dalam tahun 1828 para bruder di St. Nikolaus yang baru membuka sebuah rumah piatu, mengalami nasib yang sama. Lagi sekolah di Byloke di kota Gent dengan 600 murid dibubarkan pula atas perintah Pemerintah Belanda. (Saat itu Belgia dibawah penjajahan Belanda).

6. Pendidikan anak-anak tunarungu

Ketika Bapa Triest melihat bahwa pemerintah Belanda menaruh minat akan pendidikan anak-anak cacat, ia kemudian pergi ke Paris untuk menengok lembaga dari Romo de I’Epee yang terkenal itu. Dalam tahun 1819 seorang postulan dari Suster Karitas disuruh ke sana untuk mempelajari metode dari sekolah tadi. Kemudian dalam tahun 1920 para Suster membuka sebuah lembaga anak tunarungu di Gent.
Lembaga ini segera kekurangan tempat untuk dapat menampung semua murid yang mendaftar. Bapa Triest minta bantuan keuangan dari pemerintah Belanda sambil berjanji untuk mendirikan lembaga bagi anak-anak putera juga. Dari surat-menyurat yang daadakan dengan pemerintah Belanda, Bapa Triest mengerti, bahwa Raja Willem I lebih suka akan lembaga Pendeta Guyot di kota Groningen (Belanda Utara) daripada akan lembaga-lembaga di Luar Negeri. Dari sebab itu ia minta sumbangan kepada pemerintah Belanda untuk bruder-bruder yang akan pergi belajar di sekolath Guyot itu. Permintaan itu dikabulkan. Sang Raja berkenan memberikan sumbangan sebesar 400 Gulden. Kemudian dua orang Bruder Karitas pergi belajar di Groningen dari tahun 1823-1825. Waktu itu Panitia Amal di Gent menyediakan sebuah ruangan kelas untuk lembaga para bruder dan dalam tahun 1825 sebuah sekolah anak tunarungu bagian putra dibuka. Lalu Bapa Triest minta kepada pemerintah agar mewajibkan pamong-pamong praja serta biro-biro amal untuk menyekolahkan anak-anak tunarungu yang ada ke lembaga di Gent. Dan pemerintah sekali lagi setuju. Sebab biarpun banyak rintangan untuk sekolah-sekolah umum, tetapi pemerintah Belanda toh terus menghargai lembaga-lembaga Bapa Triest untuk anak-anak turarungu. Beliau malah mendapat hadiah penghargaan dari Raja Willem I sendiri, yaitu sebuah buku Al-Kitab. Dan dalam tahun 1829 lembaga-lembaganya diangkat menjadi lembaga Kerajaan Belanda.


BAB V: TAHUN-TAHUN TERAKHIR HIDUP BAPA TRIEST

1. Maju dengan merdeka

Dalam tahun 1830, Belgia memberontak dan berhasil merebut kemerdekaannya. Pemerintah Belgia lalu memaklumkan kemerdekaan penuh untuk mengadakan perserikatan, mendirikan sekolah-sekolah dan lain-lain.
Para Suster Karitas segera membuka kembali sekolahnya di Mechelen. Sekolah Bruder Karitas di Gent (sekolah Byloke) dimulai kembali dalam tahun 1832. Dalam tahun 1832 pula para bruder membuka dua sekolah baru, ialah di Antwerpen dan di Leuven. Demikian juga para suster membuka sebuah sekolah di Ecklo. Kemudian dibuka (dan diambil alih) beberapa sekolah dan lembaga lainnya lagi. Antara lain di kota Brussel, ialah lembaga-lembaga untuk anak-anak tunarungu dan untuk anak-anak buta bagian putri oleh para suster Karitas dan bagian putra oleh para Bruder Karitas. Dua-duanya mendapat gelar “Lembaga Kerajaan”.

2. Bintang-bintang jasa kehormatan untuk Bapa Triest

Tidak dapat tidak pekerjaan raksasa Bapa Triest dalam karya amal mendapat penghargaan dari orang-orang yang berkemauan baik. Dalam tahun 1818, atas usul Dewan Wakil Rakyat Provinsi Vlaanderen Timur, beliau medapat gelar “Ridder in de orde van de Nederlandse Leeuw”.
Dalam tahun 1827, ketika Gent akan mendapat seorang uskup baru, rakyat mengira bahwa Bapa Triest yang akan dipilih untuk jabatan itu. Harapan ini tidak terlaksana, tetapi uskup yang baru segera mengangkat Bapa Triest menjadi “Anggota Dewan Keuskupan”.
Dalam tahun 1834 suatu perkumpulan amal di kota Paris memberi penghargaan kepada Bapa Triest dengan bintang emas perkumpulan itu. Pada kesempatan itu Bapa Triest dimuliakan secara besar-besaran di balai kota Gent. Pidato dari Wali Kota berapi-api, tetapi Bapa Triest membalas ucapannya dengan perkataan: “Tuan-tuan, kami sangat berterimakasih atas segala kehormatan yang tuan-tuan sudi memberi kepada kami. Tetapi kami mengakui bahwa hanya Tuhanlah yang patut dipuji. Adapun kami hanya alat lemah, yang digunakan Tuhan untuk menolong sesama dengan perantaraan para Bruder dan Suster Karitas yang baik budi itu”.
Enam minggu kemudian Raja dan Ratu Belgia mengunjungi para Suster Karitas di Gent dan waktu itu Sang Raja mengambil bintang “Ordo Leopold” dari dadanya sendiri dan kemudian disematkannya pada dada Bapa Triest.

3. Para Suster Kanak-kanak Yesus

Di tengah pemberian bintang kehormatan itu, Bapa Triest masih memikirkan nasib anak-anak pungut. Dalam tahun 1834, di Provinsi Vlaanderen Timur saja sudah ada 752 anak pungut, belum lagi 24 anak gelandangan. Bapa Triest berniat mendirikan sebuah tarekat baru yang khusus untuk memperhatikan anak-anak terlantar itu. Tetapi panitia amal berkeberatan. Bapa Triest sudah berusia 75 tahun. Mengetahui alasan itu, Bapa Triest meminta pada Kanonik De Decker yang sejak tahun 1833 menjadi pembantunya. Akhirnya panitia amal setuju, dan menyediakan beberapa ruangan dari “Lembaga St. Joannes” yang mengurus anak-anak pungut untuk dijadikan biara bagi tarekat baru itu.
Calon pertama ialah nona van Uitfang. Gadis ini telah lama berniat masuk baira, tetapi ia belum berhasil memilih suatu tarekat tertentu. Tetapi anehnya, ketika diajak oleh Kanonik De Decker untuk masuk tarekat Bapa Triest, ia segera setuju. Dalam bulan Oktober 1835. Lima calon pertama menempati biara mereka. Oleh karena mereka bertujuan menolong anak-anak kecil, tarekat itu dinamai: “Tarekat Kanak-kanak Yesus”. Bapa Triest sendiri yang menjadi bapa pengakuan dan pemimpin rohaninya. Ia sangat memperhatikan nasib mereka, lebih-lebih ketika 4 calon jatuh sakit.
Akhirnya Bapa Triest dapat mulai menyiapkan mereka untuk penerimaan jubah. Tetapi ia tidak akan menikmati kebahagian menyaksikan upacara itu sendiri. Bapa Triest wafat sebelum upacara tersebut dilaksanakan.

4. Pemimpin kaum religius

Sesungguhnya Bapa Triest sudah terlalu sibuk dan repot untuk mengurus pekerjaan amal, akan tetapi yang lebih dipentingkannya ialah memimpin para Bruder dan Suster. Suster-suster Karitas paling beruntung mengenai hal ini. Bapa Triest bertempat tinggl di biara mereka dan tiap kali ia memberi pelajaran kerohanian. Yang ditekankannya, ialah: ketaatan yang seksama, kegembiraan di tengah-tengah kemiskinan dan kekurangan, menghormati aturan-aturan biara, kerendah-hatian sebagai dasar cintakasih, ketenangan rohani dan doa-doa di tengah kesibukan lahiriah.
Adapun Bapa Triest sendiri tiap-tiap hari bermeditasi 2 kali, 2 kali ia mengunjungi Sakramen Mahakudus (khususnya pada waktu pagi untuk menyembah Hati Kudus Yesus). Ia juga menyediakan waktu untuk menengok suster-suster yang sakit, dan waktu malam menggunakan 45 menit untuk bacaan rohani atau untuk mempelajari buku-buku dari seminari dulu. Ciri-ciri hidup batin Bapa Triest, ialah: cinta kepada Tuhan yang bersumber pada kebaktian kepada Sakramen Mahakudus dan kepada Hati Kudus Yesus, kebaktian mesra kepada Santa Maria, kesamaan rohani dengan Santo Vinsensius a Paulo. Bapa Triest seorang gembala yang baik untuk parokinya dan pemimpin berpengalaman untuk para bruder dan suster dan seorang pelopor Karitas (cintakasih) yang berjiwa pahlawan.

5. Wafatnya Bapa Triest

Seumur hidup Bapa Triest menikmati kesehatan yang baik, dan hampir sampai saat meninggalnya, ia tetap bekerja dengan giat. Katedral Gent sedang dihiasi untuk perayaan yang meriah pada tanggal 29 Juni 1836, tetapi pada tanggal 17 Juni 1836 Bapa Triest mendapat serangan asma yang hebat. Ia segera diberi Sakramen Perminyakan Kudus. Ia masih tahan hidup selama seminggu. Tenaganya lama-kelamaan hilang. Bagi Bapa Triest kematian itu bukan momok, sebaliknya ia rindu dengan hati gembira untuk bersatu dengan Tuhan. Meski begitu, ia juga bersedia hidup terus kalau perlu untuk melakukan karya Karitas. Dalam keadaan itu, ia memikirkan nasib tarekat-tarekatnya, dan mendesak agar para putera-puterinya akan tetap setia pada hidup religius, Karitas dan pengamalannya dan berusaha untuk mencapai kesempurnaan. Kerinduannya akan Komuni Kudus mengharukan. Ia hanya mau berkomuni sambil berlutut, dan dengan memakai jubahnya yang terbaik. Besarlah pula kebaktiannya kepada Santa Maria. Ketika disuruh mengurangi doa rosarionya, ia berkata: “Berbicara dengan Bunda Maria itu tidak melelahkan”. Yang mengagumkan juga ialah ketaatannya kepada para dokter. Sejam sebelum wafatnya, ia bertanya, apakah ia telah melakukan semua perintah dokter. Tetapi keprihatinannya akan kaum miskinlah yang paling jelas menunjukkan sifat hatinya. Pada saat akhir hidupnya, ia bertanya, apakah para miskin akan mendapat derma yang cukup setelah ia meninggal dunia. Ketika ia mendapat jawaban yang memuaskan, ia berkata: “Berilah, maka kamu akan diberi pula”. Kemudian ia wafat tanpa sakrat maut, ia meninggal dengan tenang pada hari Jum”at tanggal 24 Juni 1836.
Sesuai dengan keinginannya, jenazah Bapa Triest dimakamkan di bekas parokinya yaitu Lovendegem. Kemudian pemerintah Belgia memdirikan sebuah makam kehormatan di Katedral St. Goedele di kota Brussel.

6. Bapa Triest melanjutkan karyanya dalam tarekat-tarekatnya

Kecuali Tarekat Bruder St. Joannes de Deo yang akhirnya digabungkan dengan tarekat Bruder Hieronimit, tarekat-tarekat Bapa Triest yang lain (Bruder Karitas, Suster Karitas dan Tarekat Suster Kanak-kanak Yesus) terus berkembang dengan subur.


SUGESTI:

Kisah awal dari karya Pendiri Bruder Karitas (atau pendiri Kongregasi Bruder dan Suster), Petrus Yosep Triest ini, baiklah dibaca oleh siapa saja yang terlibat dalam karya apostolic para Bruder Karitas. Mereka yang terlibat adalah para Guru, para Karyawan-wati, Para relawan seperti orangtua murid yang peduli dan tergabung dalam BP 3, Para pengurus Dewan Gereja, anggota masyarakat yang punya simpati dengan karya Bruder Karitas, dll baiklah membacanya agar dapat menangkap jiwa-semangat yang sebenarnya bernyala dalam karya-karya itu. Syukurlah kalau semangat itu ikut menjiwai partisipasi semua fihak dalam karya Bruder Karitas.


BRUDER KARITAS DI INDONESIA

Bruderan Karitas
Jl. K H Wahid Hasyim 2
Purworejo – Kedu 54111

Bruderan Karitas
Jl. Jend. Gatot Subroto 65
Purwokerto

Bruderan Karitas
Jl. Sambek 33
Wonosobo

Bruderan Karitas
Nandan – Sariharjo – Ngaglik – Sleman
D. I. Yogyakarta

Bruderan Karitas
Boro Wetan - Purworejo